Peran Vital Keluarga dalam Pembentukan Karakter

Jakarta – Keluarga adalah titik nol sekaligus benteng terakhir dalam pembentukan moral generasi penerus. Jika benteng terakhir ini rusak, maka upaya bangsa Indonesia menuju generasi emas pada tahun 2045 mendatang terancam gagal. Inilah yang menjadi pemikiran LDII menjelang Musyawarah Nasional (Munas) VIII yang bakal dihelat 8-10 November 2016.

Untuk memaksimalkan peran keluarga dalam membentuk karakter sekaligus persiapan Munas, DPP LDII beraudiensi dengan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa di ruang kerjanya, Kementerian Sosial pada Kamis (8/9). Dalam perbincangan itu, Khofifah menyorot soal fungsi keluarga. Tren saat ini calon pasangan yang menikah kurang dibekali dengan pemahaman tentang fungsi keluarga.

Menurut survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang dipaparkan Khofifah, sebanyak 25 persen dari kurang lebih 2 juta pernikahan tahun 2016 terjadi karena Married by Accident (MBA). Khofifah juga memaparkan, pernikahan yang tidak diinginkan itu berkontribusi pada tingginya angka perceraian. Bahkan angka gugat cerai istri terhadap suami termasuk tinggi, pada kisaran 60-70 persen dari 382.231. Kasus perceraian tertinggi di Makassar 75 persen dan DKI Jakarta 70 persen.

“Perceraian yang terjadi akan berdampak pada anak yang menjadi broken home, sangat dekat dengan pergauan bebas. Ini akan menjadi life circle yang tidak akan pernah berakhir. Jika bukan kita siapa lagi,” ujarnya.

Anak broken home cenderung lebih mudah terpapar pergaulan negatif. Padahal, anak-anak dari keluarga normal kerap tertimpa kasus penyalahgunaan narkoba, terorisme, hingga LGBT. Khofifah membandingkan jika dulu orang tua was-was jika laki-laki bersama perempuan. Kenyataannya sekarang laki laki bersama laki laki sudah harus diwaspadai.

“LGBT sudah memakan korban berdasarkan temuan Bareskrim. Soal kasus prostitusi gay di Bogor, kami melihat anak-anak itu sebagai korban.  Dari 103 orang baru 7 orang yang dikirim ke Mensos. Di antara mereka ada yang malu dan menyesal dengan keluarganya,” ujarnya.

Kurangnya pengawasan menyebabkan korban tersangkut sindikat. Ia menyarankan kepada para orangtua agar meningkatkan kewaspadaan dan mawas diri dan menjalin komunikasi yang efektif terhadap anak. Saat ini pengaruh negatif bisa ada dimana saja. Media juga dinilai belum berpihak dalam menyampaikan pesan moral tetang fungsi keluarga yang seharusnya.

Khofifah mengajak LDII turut berkontribusi terhadap upaya merehabilitasi anak. Pasalnya, anak-anak yang terlanjur jatuh dalam pengaruh negatif berupa kekerasan seksual, pelanggaran perdata, dan pelanggaran pidana merupakan korban. Mereka memerlukan rehabiltiasi yang disebut Anak Bantuan Hukum (ABH).

Saat ini, dari 8.900 anak bermasalah hukum, 59 persennya berada di lapas dewasa. Panti ABH tersebar di Pekanbaru, NTB, Temanggung, dan beberapa wilayah lain. Wanita yang juga Ketua Wanita Musliamt NU juga menyayangkan panti-panti itu hanya melakukan sedikit pendekatan dalam rehabilitasi.

“Saya ingin panti-panti itu selain menggunakan pendekatan psikologis juga menggunakan pendekatan religius. Kami sudah melakukan kemitraan dengan univeraitas-universitas namun tidak efektif. Saya mengajak LDII bisa menyiapkan psikolog dan guru ngaji,” ujarnya.

Related posts

Leave a Comment