Kita memasuki “kehidupan baru”. Virus Korona (Virus Korona Baru) atau dikenal juga dengan istilah Covid-19 membuat situasi kita dan hampir di seluruh dunia berubah total.
Tidak ada lagi kumpul-kumpul atau kongkow-kongkow bersama teman di restoran atau di café, bersenda gurau sambil menikmati hidangan yang tersaji. Tidak ada lagi kegiatan keagamaan yang diikuti ribuan, ratusan, bahkan puluhan orang. Sejak Indonesia merdeka, baru kali ini dalam sejarahnya tidak ada sholat Jum’at, sholat tarawih di mesjid-mesjid. Tidak ada lagi juga pesta perkawinan dapat digelar dengan mengundang handai-taulan, sanak-kerabat, berkumpul ramai-ramai, bersama. Ini boleh dibilang “teror dunia”. Termasuk musibah paling keras karena menyangkut segala aspek kehidupan.
Namun dibalik pandemi Covid-19 ini atau ada yang mengatakan musibah, wabah, bala, atau apa pun sebutannya, perlu kita cermati, apa sebenarnya pelajaran yang bisa kita ambil dari peristiwa Covid-19 ini.
Salah satunya adalah soal kempimpinan. Di berbagai belahan dunia, dalam konteks Covid-19, tampak mana pemimpin yang memiliki kecerdasan dan memahami keadaan. Pemimpin memang bukan malaikat. Kita bisa menilai mana pemimpin yang bisa membaca perasaan rakyatnya dan memberikan jalan pada perasaan itu. Mana pemimpin yang bisa menangkap persoalan rakyat dari yang terkecil hingga terbesar. Termasuk berbagai persoalan yang masih terpendam.
Banyak rakyat, kalau kita tengok di berbagai negara, tak tahu harus bagaimana atau bergerak ke mana. Karena, antara lain, minimnya pengetahuan mereka. Paling-paling mereka berpikir pendek, bagaimana supaya perut tetap terisi hari ini. Akibatnya, mereka banyak pasrah “apa boleh buat”. Bahkan di beberapa negara, rakyat dalam kondisi demikian itu, ada yang tak punya ruang sama sekali untuk bersuara.
Tapi kalau kita amati lebih jauh, rakyat yang “pasrah” itu pun sebetulnya masih punya kemauan dan harapan. Nah disinilah tugas pemimpin.
Pemimpin yang bisa meraba dan menangkap isi batin rakyatnya. Menggerakkan dan menuntun mereka keluar dari situasi “kegelapan”. Membuka mata rakyatnya. Singkatnya, pemimpin yang mampu mengemudikan apa yang menjadi aspirasi rakyatnya.
Kemudian, kemauan rakyat itu dapat disuarakan. Pemimpin yang menjadi penyambung lidah rakyat. Pemimpin yang bukan membelakangi apalagi meninggalkan kemauan rakyat.
Kita sungguh prihatin, misalnya, ada bantuan sosial dari negara, tapi diklaim dan disalurkan atas nama pribadi pemimpinnya, untuk mendapat kredit point atau simpati maupun dukungan dari rakyatnya, untuk pilkada ke depan. Padahal bantuan itu bukan dari kantong pribadinya.
Karena itu, tak heran, di beberapa negara, atau di berbagai tempat di dunia, bila kualitas dan kapasitas pemimpinnya rendah, negara atau pemerintahannya baik yang berada di tingkat pusat hingga daerah itu diibaratkan seperti “delman tanpa kusir”. Rakyat kebanyakan yang diumpamakan penumpang delman itu terpaksa menempuh dan menanggung resiko terus-menerus mengalami “kecelakaan sosial” karena dimana tempat mereka bermukim tidak memiliki pemimpin yang jujur, andal, dan amanah.
Akibatnya, apa yang terjadi, tiap kelompok, golongan, atau kaum, mementingkan kepentingannnya sendiri melupakan masyarakat. Dalam teori kita menganut, misalnya rukun, kompak, guyub, tapi praktik dan perbuatannya memperkuat individualisme. Dalam teori kita mengaku religius, tapi dalam praktik dan perbuatan mengumbar dan menghidupkan “hedonisme” dan “materialisme”.
Di sisi lain, kalau kita menyaksikan pemimpin dalam berbagai tingkatan dan tempat di berbagai negara, maka kita dapat melihat karakter pemimpinnya. Ada karakter pemimpin yang “hidup dari rakyatnya”, dan pemimpin yang “hidup untuk rakyatnya”. Bagi pemimpin yang hidup dari rakyatnya menganganggap kepemimpinan itu bukan untuk melayani atau mengayomi. Tapi, pemimpin jenis ini menganggap rakyatnyalah yang mesti melayaninya. Karena itu, dia tidak akan mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk rakyatnya. Yang menjadi pikirannya adalah apa yang bisa menguntungkan diri dan kelompoknya. Harap maklum, model pemimpin seperti ini, tidak ada dalam kamusnya, pengabdian kepada bangsa dan negaranya sebagai nilai utama. Yang terbersit dibenaknya sebagai nilai utama adalah self-interest atau kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Sementara bagi pemimpin yang “hidup untuk rakyatnya”, kepemimpinan itu bukan sekadar menduduki empuknya kursi kekuasaan, melainkan dia akan mencurahkan segala usaha, tenaga,pikiran, dan segala kemampuannya untuk memuliakan harkat dan martabat rakyatnya. Nilai-nilai jujur, amanah, melayani, mengayomi, mendahulukan kepentingan rakyatnya ketimbang kepentingan pribadinya, menjadi nilai-nilai utamanya. Artinya pemimpin itu sebagai sebuah panggilan. Dengan kata lain, pemimpin itu dalam menjalankan kekuasaannya bukan menjadikan materi sebagai tujuan dari seluruh kekuasaan yang digenggamnya. Melainkan, nilai-nilai itu tadi, jujur, amanah, pengabdian, keseriusan, ketulusan, kepekaan sosial, rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama, mampu menghidupkan kerukunan, kekompakan, dan kerja sama yang baik.
Jadi dibalik peristiwa Covid-19 ini, salah satunya, kita belajar akan pemahaman baru mengenai pemimpin.
Bagi LDII, sejak usia dini, generasi mudanya, sudah ditanamkan nilai-nilai 6 thabiat luhur (jujur, amanah, muzhid-mujhid, rukun, kompak, dan kerja sama yang baik). Kelak mereka akan menjadi pemimpin di berbagai bidang. Sangat penting mereka memahami “kehormatan sebagai pemimpin” yang mencerminkan tanggung jawab dan perbuatannya. Mereka diharapkan mampu memperlihatkan kepedulian kepada akibat dari pekerjaannya terhadap dirinya dan orang lain. Termasuk bila kelak menghadapi situasi kondiri krisis seperti pandemi Covid-19 ini.
Bagi pemimpin sekarang, silakan menilai diri sendiri.