Kedaulatan Pangan

Saat peletakan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor pada tahun 1952, Presiden RI, Soekarno, menyampaikan pernyataan propetik bahwa “pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa”. Apa yang diungkapkan Bung Karno itu, bukan isapan jempol belaka. Penelitian Food and Agriculture Organization (FAO), sebuah badan dunia dibawah Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mengurusi masalah pangan di dunia dan hasil-hasil pertanian, pada tahun 2000, menyebutkan: bahwa suatu negara dengan penduduk lebih besar dari 100 juta orang, tidak mungkin bisa maju, makmur, dan berdaulat, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor.

Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, menyebutkan di sebuah media massa bahwa perang antar negara ke depan bukan lagi melalui ideologi maupun politik, tetapi lebih kepada sektor sumber daya alam, yakni menyangkut ketahanan energi dan pangan.

Karena itu, masalah pangan ini perlu mendapat perhatian ekstra dari semua pihak. Memang kita sudah mengalami banyak kemajuan sejak merdeka 74 tahun lalu, khususnya dalam pertumbuhan ekonomi. Tapi pertumbuhan ekonomi tidak hanya sekadar mencapai equality (kesamaan perlakuan), melainkan keadilan untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan agar memperoleh kesempatan untuk memperbaiki kualitas hidup yang adil (equity).

Nah, salah satu aspek fundamental untuk mencapai equity adalah kebutuhan pokok bagi rakyat. Sangat sulit dibayangkan bagaimana suatu negara dapat berdaulat penuh didukung dengan terbentangnya lahan yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke yang didukung dengan kurang lebih 800 spesies tumbuhan pangan dan sumber karbohidrat mencapai 77 jenis, namun kebutuhan pokok khususnya pangan masih “tergantung” pada negara lain.

Memang ironis sedikit “miris” kalau mengingat Indonesia negeri yang subur, tapi kok hampir semua kebutuhan pangannya diimpor. Tercatat dalam kata pengantar buku panduan “Gerakan Nasional Kedaulatan Pangan”, dari Pusat Inkubator Bisnis Syariah MUI Pusat tahun 2019, bahwa selama dua dekade terakhir ini, kita menjadi pengimpor pangan terbesar yang ketiga di dunia. Setiap tahunnya Indonesia mengimpor sedikitnya 1 juta ton beras, 2 juta ton gula, 1,5 juta ton kedelai, 1,3 juta ton jagung, 10 juta ton gandum, 600.000 ribu ekor sapi, dan 3 juta ton garam.

Soal garam ini misalnya. Panjang pantai di Indonesia terpanjang nomor dua di dunia setelah Negara Kanada. Selain itu, sekitar 70% buah-buahan yang kini beredar di pasar-pasar di seluruh tanah air ini berasal dari impor.

Akibat ketergantungan pada bahan pangan impor tersebut, kita menggelontorkan devisa yang sangat besar, “melumpuhkan” daya saing petani kita termasuk nelayannya, “memandulkan” sektor pertanian dan kelautan-perikanan yang semestinya menjadi keunggulan kompetitif bagi bangsa Indonesia.

Memang tidak dipungkiri bahwa pemerintah telah berupaya sekuat tenaga mengatasi persoalan-persoalan pangan nasional ini: mulai dari pertanian, perikanan, peternakan, industri pangan, pengelolaan pasar, permodalan, hingga importasi bahan pangan. Tapi tampaknya belum membuahkan hasil yang memenuhi harapan banyak masyarakat.

Padahal Indonesia dengan segala potensinya semestinya mampu memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri, bahkan beberapa komoditi pangan seharusnya sudah menjadi penyumbang devisa negeri ini, bukan terus-menerus melakukan impor bahan pangan.

Lalu bagaimana kita mengatasi soal mewujudkan kedaulatan pangan ini ? MUI Pusat mengusulkan lima poin. Pertama: perkuat upaya meningkatkan produksi pangan dalam negeri antara lain adanya lahan pertanian yang berkelanjutan. Kedua: wajib ditekankan bahwa keberadaan sumber daya petani produktif yakni para petani harus mau membuka diri terhadap perkembangan zaman. Ketiga: Indonesia harus mempunyai input produksi pertanian yang unggul, serta infrastruktur pertanian yang baik. Keempat: perlu membangun tata niaga pangan yang berkeadilan. Dan terakhir, disinyalir pasar bebas kerap merugikan petani. Untuk itu, pemerintah perlu menggaungkan “corporate farming”, tidak hanya di pertanian, tapi juga di perkebunan dan laut.

Tentu ada banyak usulan lain. Ada yang menggaungkan Indonesia perlu ada suatu terobosan besar agar tidak lagi bergantung pada impor pangan. Kebijakan yang tepat. Kebijakan yang mendorong petani termotivasi untuk meningkatkan produksi.

Secara definitif kedaulatan pangan merupakan konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

DPP LDII dalam Rakernas LDII bulan Oktober 2018 telah juga mengangkat isu pangan ini sebagai salah satu dari delapan bidang strategis yang diusulkan kepada pemerintah. LDII tidak hanya mengusulkan tapi juga telah berbuat. Warga LDII, Awaldi Hasibuan asal Pekanbaru, Provinsi Riau, misalnya, mengembangkan singkong “raksasa” yaitu sebatang ubi kayu bisa menghasilkan ubi kayu atau singkong dengan bobot sekitar 200 kg. Ini bisa menjadi aspirasi bagi petani lainnya. Warga LDII lainnya, Taswadi, berhasil melakukan inovasi di lahan gambut di Melawi, Kalimantan Barat. Lahan gambut setebal 4-6 meter bisa diubah menjadi lahan subur yang dapat ditanami berbagai komoditas pangan.

Walhasil, akhirnya selalu harus ada kesadaran akan pentingnya pangan ini. Memang selalu ada yang belum terungkap namun bersama itu mudah-mudahan selalu ada jalan keluarnya.

Kita jangan saling menyalahkan. Tapi mari ambil bagian, semua pihak, sekecil apa pun itu, insya Allah akan kelak menghasilkan, paling tidak kita mampu berdikari mandiri di bidang pangan. Sebagian warga LDII sudah memberi contoh.

Dr. H. Iskandar Siregar M.Si.
Ketua DPP LDII/Plt. Pemimpin Redaksi Nuansa

image: unsplash

sumber tulisan: https://iskandarsiregar.com/kedaulatan-pangan

Related posts

Leave a Comment