Di tengah suasana pandemi Covid-19, ada yang terasa menyesakkan. Sebuah draft Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yang menimbulkan pertentangan di tengah-tengah masyarakat. Majelis Ulama Indonesia menolak RUU HIP ini. Alasannya, antara lain, ada “upaya terselubung” untuk menggeser sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan ketuhanan yang berkebudayaan. Atau, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa bukan lagi menjadi causa prima yang menjadi roh dari sila-sila dalam Pancasila tapi digantikan oleh gotong-royong. Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PB NU) juga mengkritik. RUU HIP ini sebenarnya tak mendesak dibahas. Bukan solusi yang tepat atas persoalan ideologi saat ini. Muhamadiyah juga senada. Minta dihentikan proses RUU HIP ini. Bikin polemik. Lihat pasal 7 RUU HIP ini, rumusan Pancasila jadi trisila dan ekasila.
Selain ormas Islam, perwakilan Purnawirawan TNI/Polri juga menolak RUU inisiatif DPR ini. RUU HIP ini akan mendegradasikan Pancasila, yang seharusnya jadi sumber dari segala sumber hukum, tapi melalui RUU HIP ini, Pancasila hanya akan jadi norma instrumental dan bukan fundamental (staatfundamental norm). Tambahan lagi, TAP MPRS Nomor XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme tidak ada dalam landasan hukum RUU HIP ini.
Dengan gelombang penolakan terhadap RUU HIP, sebagian kalangan DPR RI berkomitmen mendengarkan aspirasi publik tersebut.
Mengapa RUU HIP ini menyulut kontroversi. Sebagian pakar Hukum Tata Negara memberikan contoh. Pasal 7 RUU HIP ini memuat tiga ayat yang isinya sebagai berikut: 1. Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan. 2. Ciri pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. 3. Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristailisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong.
Nah Ekasila atau Gotong Royong, menurut sebagian pakar Hukum Tata Negara, tidak sama dengan Pancasila. Karena tidak semua gotong royong berlandaskan : Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Itu sebabnya: BPUUPKI, Panitia 9, Piagam Jakarta, PPKI, tidak menyetujui usul Ir. Soekarno yaitu “Ekasila atau gotong-royong sebagai dasar negara”.
Gotong royong, dalam bahasa Arab boleh disebut dengan taawun mutabadal, dapat diartikan sebagai kegiatan, aktivitas yang dilakukan secara bersama-sama dan bersifat suka rela, agar kegiatan atau aktivitas tersebut dapat berlangsung, terlaksana secara lancar, dengan mudah dan ringan. Bila gotong-royong atau taawun mutabadal dikaitkan dengan konsep haluan ideologi Pancasila, akan menjadi salah kaprah, karena haluan ideologi Pancasila itu bukan kegiatan, bukan pula aktivitas, atau bukan pekerjaan, akan tetapi semata-mata sebagai arah atau pengarah.
Pemerintah RI belakangan menyampaikan agar menunda pembahasan RUU HIP ini. Namun, Dewan Pertimbangan (Wantim) MUI, melalui Ketua Wantim MUI, Prof. Dr. Din Syamsudin, meminta agar RUU HIP ini ditunda selama-selamanya.
Di mana posisi LDII ? LDII sejak awal berdiri telah menetapkan Pancasila sebagai asas organisasinya. Bahkan di dalam berbagai kesempatan, baik dalam pertemuan dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah atau Musyawarah Wilayah LDII di berbagai provinsi, Ketua Umum DPP LDII, Prof. Dr. Ir. KH Abdullah Syam M.Sc., secara tegas menyatakan bila ada pihak-pihak yang akan atau mau menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi lain sebagai dasar negara, maka tidak hanya berhadapan dengan TNI/Polri, tapi juga akan berhadapan dengan LDII. Tanpa kompromi.
Pancasila sudah final sebagaimana termaktub pada alinea IV Pembukaan UUD 1945. Jangan lagi diutak-atik. Jangan coba-coba mengajukan RUU sejenis. Pada mulanya RUU. Tapi nanti bisa merambah ke sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Muaranya sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara tergerogoti.
Inilah mengapa setiap yang mengusik Pancasila selalu mengundang reaksi keras dari mayoritas umat Islam. Dengan kata lain, ini seperti membangkitkan macan tidur. Umat Islam akan keluar, menyeru, dan bila tidak dihentikan, bukan mustahil akan mencuatkan konflik horizontal dan vertikal di dalam tubuh bangsa ini. Ongkosnya tentu akan terlalu mahal. Bila bangsa ini terkoyak-koyak.
Kita tentu tidak ingin hidup dalam lingkungan yang khaos dan penuh kekerasan, tapi dalam kehidupan bersama untuk “masyarakat yang baik”, membuang jauh-jauh rasa curiga antarkelompok, kebencian, tidak hanya baik bagi “kami” juga baik bagi “mereka”. Meskipun tentu ada dinamika dan perubahan dalam kehidupan. Untuk itu, sesama anak bangsa, merujuk pada sila ke-4 Pancasila, sebisa mungkin mengedepankan musyawarah mufakat. Dan juga kita lebih instropeksi diri lagi.
Misalnya, untuk jangka panjang ada pekerjaan rumah yang menantang ; adalah bagaimana Pancasila tidak hanya diperkatakan tapi juga diamalkan dalam kehidupan sehari-sehari. Sehingga Pancasila, yang telah menjadi bagian dari konsensus bangsa bisa memenuhi cita-cita para pendiri bangsa ini.
Bisakah kita berharap ? Insya Allah kita bisa. Justru harapan itu lebih punya sandaran ketimbang di masa lampau. Kita mengingat sejarah, tapi kita tak mengulangi. Asakan kita tidak berpangku tangan. Berdiam diri membiarkan Pancasila tidak membumi.
sumber gambar: republika.co.id