Beruntunglah bagi mereka yang punya sahabat. Kadang jumlahnya memang tidak banyak. Sahabat beda dengan teman. Biasanya predikat sahabat bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Sahabat semacam anugerah terindah yang diberikan Allah kepada seseorang di kehidupan ini. Ia sering muncul saat kita dalam kesulitan. Ia hadir pada saat-saat yang tepat dan dibutuhkan. Datang dengan ketulusan membawa pertolongan, kemudian pergi dengan pengharapan indah berbalut kebaikan. Tanpa pamrih, penuh tulus, dalam diam berperisai indah ketaatan, pun karena Allah semata.
Dalam hal sahabat, jembatan pemahaman terindah yang bisa menjadi bahan pencerahan adalah kisah legendaris bagaimana Rasulullah ﷺ menyaudarakan Kaum Muhajir dan Anshar. Ada semacam ikatan yang kuat di bawah nikmat Allah yang menyertainya. Lahir dan batin. Itulah sahabat. Ia bukan saudara sekandung, tetapi dalam praktik melebihinya. Ia bukan istri, tetapi mengerti diri kita luar-dalam. Orang yang mau berkorban demi kita sebagai perpanjangan tangan Tuhan. Maka, sekali lagi berbahagialah mereka yang punya sahabat.
Mengawali tahun 2021, seorang sahabat mengirimkan sebuah pesan indah penuh makna. Selaksa berkah, sejuta nikmat. Bukan sebentuk benda atau pernak-pernik yang penuh nilai. Ia datang dengan kalimat hikmah, menyikapi kondisi pandemi dan perlunya menumbuhkan kesabaran dalam meghadapinya. Ia mengirimkan sebuah hadits yang sungguh menghentak jiwa.
Dinukil dari riwayat Imam Muslim, ia menyajikannya dengan penuh karisma.
“Sahabatku, rasanya kita perlu mengulik kembali hadits indah berikut ini. Untuk apa? Untuk mengetahui apakah kita benar-benar manusia yang menghamba kepada Allah atau bukan. Sebab, banyak sekali yang merasa berkuasa melebihi Yang Maha Kuasa. Atau merasa bersih tak pernah berdosa. Lupa bahwa kita adalah manusia, tempatnya salah, lupa dan tak berdaya. Simaklah wasiat berikut ini.
عَنْ أَبِي أَيُّوبَ، أَنَّهُ قَالَ حِينَ حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ كُنْتُ كَتَمْتُ عَنْكُمْ شَيْئًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ “ لَوْلاَ أَنَّكُمْ تُذْنِبُونَ لَخَلَقَ اللَّهُ خَلْقًا يُذْنِبُونَ يَغْفِرُ لَهُمْ
Dari Abi Ayyub -radhiyallahu ‘anhu- sesungguhnya ia berkata ketika hendak meninggal; “Aku menyembunyikan dari kalian sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah ﷺ, Beliau bersabda; “Seandainya kamu sekalian tidak mempunyai dosa sedikit pun, niscaya Allah akan menciptakan suatu kaum yang melakukan dosa untuk diberikan ampunan kepada mereka.” [HR. Muslim]”.
Apa hubungannya dengan situasi sekarang? Dua hal sekaligus. Pertama, terkait pandemi. Sahabat yang baik tersebut ingin mengingatkan kembali kepada saya untuk mengenal lebih dalam lagi sifat manusia. Dengan mengenal lebih baik lagi sifat dasar manusia diharapkan bisa lebih baik dan tangguh lagi dalam bermuamalah dan bersosialita. Ujung-ujungnya bisa menghiasi manisnya iman dalam situasi seperti sekarang ini. Menghadapi pandemi yang terus bertambah kasus konfirmasinya, tetap sabar dan tidak menggerutu. Menjalani kondisi pandemi yang terus memanjang, memasuki tahun kedua, tetap tenang tidak menyalahkan. Justru melihat peluang indah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Semua diolah menjadi indah pada saatnya dan digunakan dengan sempurna untuk masa depan.
Kedua, terkait pergantian tahun. Banyak hal salah yang kita lakukan di tahun yang lalu, jangan bersedih. Jadikan semua sebagai pelajaran berharga dengan banyak bertaubat kepada Allah. Banyak hal yang belum kesampaian di masa lalu, tetaplah berusaha. Selalu ada peluang dan harapan, jika Allah masih memberi waktu. Dengan berpandangan seperti ini, akan meringankan langkah kaki. Memanfaatkan setiap keadaan yang dihadapai dengan usaha terbaik. Bukan keberhasilan ukurannya, tetapi proses yang menjadi tolok ukurnya. Sebab hasil Allahlah yang menentukan. Adakalanya harus bersyukur, ketika keberhasilan datang. Adakalanya minta ampunan, jika ternyata kesalahan yang kita kerjakan.
Pilihan dalil yang indah. Sekilas hadits di atas tampak bias. Dari sudut tertentu, seperti mengajak bersama-sama melakukan dosa. Bukan, bukan itu. Ini adalah apresiasi terhadap orang yang berbuat dosa. Salah, berdosa itu biasa, kalau gak nanti malah akan diganti kaum lain, itu bukan? Hati-hati, jangan dihubungkan atau malah diqiaskan dengan semangat Surat Al-Maidah ayat 54. Tetapi hadits ini lebih kepada penguatan, penegasan dan alasan dasar bahwa Allah suka terhadap orang yang bertaubat. Manusia salah, lupa dan berdosa itu biasa. Karena manusia memang tempatnya. Namun ketika tahu bahwa dirinya bersalah dan berdosa kemudian segera taubat, itu luar biasa. Karena Allah sungguh-sungguh suka menerima taubat. Jadi, klop sudah hukum Allah ini. Hubungan sebab akibat yang sempurna, karena fitrah manusia; dimana manusia itu istimewa. Kita bukanlah malaikat, yang tidak pernah berdosa.
Nah, untuk mengurangi kebiasan ini, ada baiknya kita simak redaksi serupa yang diriwayatkan sahabat Abu Hurairah.
نْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ ” .
Dari Abu Hurairah dia berkata, bersabda Rasulullah ﷺ: “Demi Dzat yang diriku berada ditanganNya, jika kalian tidak berbuat dosa, Allah akan menghilangkan kalian dan Allah akan mendatangkan kaum lain yang berdosa, lalu mereka mau minta ampun kepada Allah, maka Allah pun mengampuni dosa mereka.” (HR. Muslim).
Dengan tambahan redaksi ini, sekali lagi, sahabat saya ingin menyampaikan pesan sederhana bahwa tidak perlu membenci orang yang bersalah secara berlebihan. Karena itu bisa menimpa siapa saja. Kalaulah harus membenci, bencilah tindakannya jangan orangnya. Sebenarnya hanya perlu diingatkan untuk bertaubat saja. Karena itulah solusi terbaiknya. Dan yang terpenting lagi, bahwa dengan salah dan dosa itu bisa menjadi jalan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah dengan bertaubat; dari hina menjadi mulia. Persis seperti harapan sahabat saya, semoga memasuki tahun baru 2021 ini, kita semua bisa menjadi hamba Allah yang lebih taqwa dan luas cakrawalanya. Amin.
::
Penulis: Faizunal A. Abdillah
Pemerhati sosial dan lingkungan – Warga LDII tinggal di Serpong, Tangerang Selatan.
Ilustrasi: Ihsan